Welcome Message

Nasihat Bijak untuk Para Birokrat (Bagian 2)

Sebuah risalah nasihat yang patut kita renungkan, terutama bagi para birokrat dan pegawai pada umumnya (serta teman-temanku calon pendekar keuangan di STAN). Risalah ini berjudul Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad Al-'Abbad Al-Badr. Semoga bermanfaat.

PEGAWAI YANG MENUNAIKAN PEKERJAANNYA DENGAN IKHLAS
MENDAPAT BALASAN DUNIA DAN AKHIRAT

Apabila seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, maka ia telah menunaikan kewajibannya dan berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Telah datang nash-nash syar’iyah yang menunjukkan bahwasanya upah dan pahala atas apa yang dikerjakan oleh seorang dari pekerjaan didapat dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepada-Nya pahala yang besar” (Q.S. An-Nisa : 114)

Imam Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan ikhlas maka itu baginya adalah sedekah”.

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu:

“Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan wajah Allah melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap yang engkau suapkan di mulut istrimu”
(Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim)

Nash-nash ini menunjukkan bahwasanya seorang Muslim apabila ia menunaikan kewajibannya terhadap sesama hamba lepaslah tanggung jawabnya, dan bahwasanya ia hanya akan mendapatkan balasan dan pahala dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

MENJAGA JAM KERJA
UNTUK KEPENTINGAN PEKERJAAN

Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah dikhususkan bekerja pada pekerjaan yang telah dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pada perkara-perkara lain selain pekerjaan yang wajib ditunaikannya pada waktu tersebut. Dan tidak boleh ia menggunakan waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan; karena jam kerja bukanlah milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil upah dengannya.

Syaikh Al-Mu’ammar bin Ali Al-Baghdadi (507 H) telah menasihati Perdana Menteri Nizhamul Muluk dengan nasihat yang dalam dan berfaedah. Di antara yang dikatakannya diawal nasihatnya itu.

“Suatu hal yang telah maklum hai Shodrul Islam! Bahwasanya setiap individu masyarakat bebas untuk datang dan pergi, jika mereka menghendaki mereka bisa meneruskan dan memutuskan. Adapun orang yang terpilih menjabat kepemimpinan maka dia tidak bebas untuk bepergian, karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan dia pada hakikatnya orang upahan, ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya. Maka tidak tersisa dari siangnya yang dia gunakan sesuai keinginannya, dan dia tidak boleh shalat sunat, serta I’tikaf… karena itu adalah keutamaan sedangkan ini adalah wajib”.

Di antara nasihatnya, “Maka hidupkanlah kuburanmu sebagaimana engkau menghidupkan istanamu” [1]

Dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan sempurna serta tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak mengurangi sedikitpun dari jam kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan kerja. Allah telah mencela Al-Muthaffifin (orang-orang yang curang) dalam timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan mengurangi hak-hak orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (Q.S. Al-Muthaffifin : 1-6)

______________________________
Footnote

[1] Dzailul Thabaqat Al-Hanabilah oleh Ibnu Rajab (1/107)


Disalin dari kitab Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah 
Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad
Penerjemah Agustimar Putra
Penerbit Darul Falah, Jakarta 2006 

********************************************************

Sumber : al-Manhaj Offline Version
Versi: v1.0
03 Agustus 2009

Copyright © Study Islam