Welcome Message

Pengertian Ilmu Syar'i

Secara bahasa al-‘ilmu adalah lawan dari al-jahl (kebodohan), yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang pasti.

Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah (pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (kebodohan). Menurut ulama lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.

Adapun ilmu yang kita maksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Maka, ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah saja.[1]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, Dia akan menjadikannya faham tentang agamanya. Sesungguhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allah-lah yang memberi. Dan ummat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allah (hari Kiamat).”[2]

Imam al-Auza’i rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang datang bukan dari seseorang dari mereka, maka itu bukan ilmu.” [3]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang sebenarnya."

Tingkatan Ilmu

Pertama: Al-‘Ilmu
Yakni mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang pasti dan yang sebenarnya dengan pengetahuan.

Kedua: Al-Jahlul Basith
Yakni tidak mengetahui sesuatu sama sekali.

Ketiga: Al-Jahlul Murakkab
Yakni mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Disebut murakkab karena pada orang tersebut ada dua kebodohan sekaligus, yaitu bodoh karena ia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena beranggapan bahwa dirinya tahu, padahal sebenarnya ia tidak tahu.

Keempat: Al-Wahm
Yakni mengetahui sesuatu dengan kemungkinan salah lebih besar daripada benarnya.

Kelima: Asy-Syakk
Yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar atau salahnya sama.

Keenam: Azh-Zhann
Yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar daripada salahnya.

Pembagian Ilmu Berdasarkan Cara Memperolehnya

Dharuri yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung tanpa memerlukan penelitian dan dalil, seperti pengetahuan bahwa api itu panas.

Nazhari yaitu pengetahuan yang hanya bisa diperoleh dengan cara melakukan penelitian dan dengan dalil, misalnya pengetahuan tentang wajibnya niat dalam berwudhu'.[4]

Pembagian Ilmu Berdasarkan Tingkat Kewajibannya

Pertama: ‘Ilmu ‘Aini
Yakni ilmu yang wajib diketahui dan dipelajari oleh setiap Muslim dan Muslimah, contohnya ilmu tentang iman, thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat –apabila telah memiliki harta yang mencapai nishab dan haul- haji ke Baitullah bagi yang mampu, dan segala apa yang telah diketahui dengan pasti dalam agama dari berbagai perintah dan larangan. Tidaklah anak-anak yang menginjak dewasa ditanya tentang ilmu ini, melainkan mereka mengetahuinya.

Kedua: ‘Ilmu kifa-i
Yakni ilmu yang tidak wajib atas setiap Muslim untuk mengetahui dan mempelajarinya. Apabila sebagian dari mereka telah mengetahui dan mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban atas sebagian yang lainnya. Namun, apabila tidak ada seorang pun dari mereka yang mengetahui dan mempelajarinya padahal mereka sangat membutuhkan ilmu tersebut, maka berdosalah mereka semuanya. Contohnya adalah menghafalkan Al-Qur-an, ilmu qira’at, ilmu waris, ilmu hadits, mengetahui halal dan haram, dan yang sejenisnya. Jenis ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim dan Muslimah, tetapi cukup dilakukan sebagian mereka.[5]

 ____________________________________________

[1]. Lihat Kitaabul ‘Ilmi (hal. 13), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah, cet. Daar Tsurayya lin Nasyr, th. 1420 H.

[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95, 96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), lafazh ini milik al-Bukhari dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma.

[3]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/618, no. 1067).

[4]. Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 18-19).


[5]. Lihat kitab Thariiq ilal ‘Ilmi as-Subulun Naaji’ah li Thalabil ‘Uluumin Naafi’ah (hal. 18-19), karya ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim hafizhahullah.

***************************************************************

Disarikan dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
Karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Copyright © Study Islam